Review Buku #107 – A Court of Frost and Starlight ‘A Court of Thorns and Roses 3.1’ by Sarah J. Maas (2018)

A Court of Frost and Starlight - Sarah J. Maas

My mate—who had worked so hard and so selflessly, all without hope that I would ever be with him.
We had both fought for that love, bled for it. Rhys had died for it.

(WARNING. SPAM SPOILER) Musim dingin tiba dan Feyre akan merayakan Solstice pertamanya di Velaris sebagai High Lady Night Court bersama Rhysand dan the Inner Circle. Ingatan dari pertarungan melawan Hybern masih terus terbayang namun mereka berusaha untuk mengatasi trauma yang ada dengan cara masing – masing.

A Court of Frost and Starlight (ACOFAS) merupakan novella serial ACOTAR (A Court of Thorns and Roses) yang mengambil waktu dua musim kemudian setelah ending A Court of Wings and Ruin (ACOWAR). Setelah penantian satu tahun lamanya, buku ini selesai gue baca dalam waktu 6 jam saja. Tentu saja gue merasa sedih karena ceritanya terlalu singkat. Tapi dalam waktu yang singkat itu, banyak perasaan dan suasana yang gue rasakaan. Gue akan berusaha mempersingkat celoteh bawel ini meskipun sulit.

Ada 4 POV yang muncul dalam ACOFAS : Feyre, Rhysand, Cassian dan Morrigan. Alur cerita tetap lebih difokuskan pada Feyre dan Rhysand, namun POV Cassian dan Mor yang hanya dua kali itu membuat gue melihat sisi baru dari mereka dan tentunya gue terhibur. Okay, akan gue jabarkan review ini dalam bentuk poin :

1. Feyre dan Rhysand dalam proses membangun kehidupan yang berbahagia. Pasangan ini adalah salah satu OTP kesukaan gue yang selalu membuat gue menangis sedih dan menangis bahagia untuk mereka. Gue TIDAK PERNAH bosan dengan percakapan romantis mereka. Bahkan percakapan kecil yang menggoda saja membuat gue berguling tidak karuan. Contoh :

“A week,” he said onto my skin, gracefully folding his wings behind him. “A week to have you in this bed. That’s all I want for Solstice.”
I laughed breathlessly, but he flexed his hips, driving against me, the barriers between us little more than scraps of cloth. He brushed a kiss against my mouth, his wings a dark wall behind his shoulders. “You think I’m joking.”
“We’re strong for High Fae,” I mused, fighting to concentrate as he tugged on my earlobe with his teeth, “but a week straight of sex? I don’t think I’d be able to walk. Or you’d be able to function, at least with your favorite part.”
He nipped the delicate arch of my ear, and my toes curled. “Then you’ll just have to kiss my favorite part and make it better.”

Kalian pikir percakapan di atas akan mengarah ke momen yang ditunggu? Tapi nyatanya tidak. Mor tiba – tiba datang dan menyuruh mereka berhenti karena ada kepentingan lain yang menunggu. Gue cuma bisa tertawa tentunya.

“I love you,” he breathed. “More than life, more than my territory, more than my crown.”

2. Ada dua masalah yang timbul setelah pertarungan melawan Hybern. Pertama, kota Velaris yang hancur dan butuh pembangunan kembali yang tidak mungkin selesai dalam waktu singkat. Kedua, saat pertarungan melawan Hybern, Cassian membawa prajurit Illyrian untuk berjuang bersamanya. Tapi banyaknya korban membuat kesetiaan para prajurit Illyrian padanya menjadi goyah dan ada sekelompok Illyrian yang memberontak. Tidak diceritakan begitu banyak tentang masalah ini karena Rhysand ingin mementingkan Solstice dahulu. Tapi hingga akhir buku masalah juga belum selesai. Sepertinya masalah Illyrian ini akan berlanjut di buku selanjutnya.

3. Cassian. Cassian selalu menyayangi ibunya dan memendam kerinduannya. Cassian tidak ingin para perempuan Illyrian diperlakukan rendah seperti ibunya dulu sehingga Cassian selalu berusaha agar mereka dipandang sederajat dengan pria Illyrian. Sisi Cassian seperti inilah yang membuat gue menyukai doi.

4. Morrigan. Tentu saja Mor masih sangat membenci Eris dan Keir. Gue juga selalu jengkel setiap kemunculan dua tokoh ini.
I love her so much. Gue ingin Mor bisa bahagia dan melupakan kebenciannya pada Eris dan Keir. Tapi karena sepertinya itu mustahil, gue berharap Mor bisa segera balas dendam pada dua pria itu lol

5. Sebelum buku ini rilis, gue sempat ragu apa akan ada kemunculan Tamlin. Oh oh ternyata Tamlin sungguh muncul dan sejujurnya gue bingung apa status perasaan gue pada tokoh ini. Gue tidak membenci Tamlin, hanya tidak menyukainya. Tidak menyukai dan membenci itu kata yang berbeda.
Spring Court berbatas langsung dengan daerah manusia. Tapi karena tembok pembatas sudah hancur dan karena tindakan balas dendam Feyre pada Tamlin di buku sebelumnya, akhirnya tidak ada lagi yang menjaga perbatasan itu. Tidak ada lagi prajurit yang setia pada Tamlin dan Spring Court sudah menjadi daerah yang ditinggalkan. Penampilan Tamlin berubah menyedihkan, tidak ada pelayan yang memasak untuknya sehingga Tamlin harus berburu hewan sendiri dan rumah kediamannya hancur di banyak bagian. Gue mau menangis? Tidak. Gue hanya merasa kasihan karena ia harus menghadapi karma dari perbuatannya selama ini.
Tapi saat Tamlin berkata pada Rhysand, “Do you think she will forgive me?”, GUE MAU MENANGIS. Ini serius. Perasaannya pada Feyre itu nyata dan gue tidak bisa melupakan pesan terakhir yang Tamlin ucapkan pada Feyre di ACOWAR.

I have to create, or it was all for nothing. I have to create, or I will crumple up with despair and never leave my bed. I have to create because I have no other way of voicing this.

6. Nesta mengucilkan dirinya dan tinggal sendirian di tempat yang jauh dari pusat kota. Ia tidak pernah datang menemui Feyre padahal Feyre sangat mengkhawatirkannya. Tingkahnya cukup menjengkelkan dan gue tidak peduli dengannya di cerita kali ini. Tapi Cassian selalu peduli pada Nesta dan gue cuma bisa pasrah melihat Cassian yang diabaikan terus menerus :’)

7. Elain dan Lucien. Ugh hubungan mereka membuat gue frustasi. Gue mengerti kenapa Elain tidak nyaman dengan statusnya sebagai Lucien’s mate. Tapi setidaknya Elain harus mencoba bicara dengan Lucien, sekecil apapun percakapannya. Gue melihat Lucien yang sekarang dibuang dari Spring Court dan menyebut dirinya termasuk Band of Exiles bersama Jurian dan Vassa, itu menyedihkan loh. Kesedihannya tidak perlu ditambah lagi dengan dirinya dicuekin oleh mate-nya sendiri.

8. Gue ingin Azriel mempunyai bukunya tersendiri…. Gue ingin Azriel lebih diperhatikan dan ada banyak cerita tentangnya. Interaksi Azriel dan Elain sangat manis dan malu – malu. Meskipun Elain adalah mate-nya Lucien, tapi mereka tidak ada chemistry. Jadi gue berharap Azriel saja yang maju…

9. Amren secara tidak langsung menjadi pelawak bagi pembaca. So, since Amren change and permanently in a high fae body, she’s not consume blood anymore. Now she eats normal food and clearly so inconvenience to find a place to relieve herself AND SHE DOESN’T KNOW HOW TO PEE AND SHE JUST RUINED THE DINNER.

“You were born on the longest night of the year.” His fingers again stroked down my back. Lower. “You were meant to be at my side from the very beginning.”

10. Merupakan pemandangan yang menentramkan melihat para tokoh memikirkan hadiah untuk diberikan pada saat Solstice. Lalu sangatlah menggemaskan saat mereka bertukar hadiah. Gue senang melihat momen kebersamaan semua tokoh, meskipun ada beberapa yang tidak sesuai harapan.

11. Winter Solstice dirayakan bertepatan dengan ulang tahunnya Feyre. Gue baru sadar kalau Feyre di timeline ACOFAS itu umurnya baru 21 tahun. Umurnya masih dini jika dibandingkan dengan Rhysand dan perjalanan hidup abadinya masih panjang.

12. Rhysand memberikan buku sketsa pada Feyre sebagai hadiah ulang tahunnya. Lalu Feyre ingin melukis Rhysand saat itu juga, dimulai dari lukisan telanjang. Rhys : “Do your worst, Cursebreaker.” I LOVE MY OTP TO THE WORST.

13. Gue tertawa berat dan tidak menyangka melihat tradisi tiga prajurit Illyrian terbaik kita disini aka Rhysand, Cassian dan Azriel. Sejak masih kecil mereka mempunyai rutinitas untuk bermain bola saju di pagi hari Winter Solstice. Tanpa sihir dan tanpa sayap. THEY’RE HAVING A SNOWBALL FIGHT. SINCE THEY WERE CHILDREN. THEY’RE OVER 500 YEARS OLD. Illyrian babies indeed.

“Another tradition,” she told me, the bottle of amber-colored alcohol mostly empty. And my head now spinning with it. “An Illyrian custom, actually—the heated sheds. The birchin. A bunch of naked warriors, sitting together in the steam, sweating.”
“So the three of them are just in there. Naked. Sweating.”
Mother above.
Interested in taking a look? The dark purr echoed into my mind.
Lech. Go back to your sweating.
There’s room for one more in here.
I thought mates were territorial.

I could feel him smile as if he were grinning against my neck. I’m always eager to learn what sparks your interest, Feyre darling.
I surveyed the cabin around me, the surfaces I’d painted nearly a year ago. I was promised a wall, Rhys.
A pause. A long pause. I’ve taken you against a wall before.
These walls.
Another long, long pause. It’s bad form to be at attention while in the birchin.
My lips curved as I sent him an image. A memory.
Of me on the kitchen table just a few feet away. Of him kneeling before me. My legs wrapped around his head.
Cruel, wicked thing.
I heard a door slamming somewhere in the house, followed by a distinctly male yelp. Then banging—as if someone was trying to get back inside.
Mor’s eyes sparkled. “You got him kicked out, didn’t you?”
My answering smile set her roaring.

15. Gue dan pecinta serial ACOTAR di luar sana tidak pernah melupakan janji Rhysand di buku kedua untuk doing sex ke Feyre di tembok hingga lukisan yang digantung di tembok jatuh. Gue berpikir janji itu akan terpenuhi di buku ketiga tapi nyatanya tidak terkabul. Jadi saat janji itu terlaksanakan di novella ini, kalian bisa membayangkan seorang perempuan yang ingin berteriak dan terus menutup mata karena malu saat membayangkan kejadian itu. Yep itu gue.
DAN AUDIOBOOK MEMBUAT SEGALANYA SEMPURNA. Shit. Chapter 22. Suara Rhysand yang keterlaluan. I always have zero self control to this couple. I’m so into their happiness, always.

16. Momen Feyre dan Rhysand (lagi dan lagi) yang paling membuat gue terharu adalah hadiah Feyre pada mate-nya itu. Di buku sebelumnya, Feyre diberi penglihatan tentang anaknya bersama Rhysand di masa depan. Meskipun hidup mereka abadi, tapi Feyre tidak mau membuang waktu yang ada. Feyre tidak mau jika salah satu dari mereka meninggal dan yang masih hidup akan hidup sendirian tanpa jejak dari orang yang dicintainya. Feyre dan Rhysand pun tidak memakai pengaman lagi setiap sex dan mencoba untuk membuat anak. Lalu Rhysand membeli tanah luas dan ingin Feyre untuk mendesain sendiri rumah bagi mereka. Rumah bagi keluarga besar mereka di masa depan. Rumah bagi anak mereka nanti. Gue mau menangis lagi di bagian ini. Seriusan.

To the stars who listen, Feyre.
To the dreams that are answered, Rhys.

See? Gue tetap tidak bisa mengontrol benak gue tentang ACOFAS secara penuh dan berakhir dengan post yang panjang ini. Gue bersyukur mendengar novella ini dalam bentuk audiobook, karena narratornya sangat super dan membawa setiap tokoh lebih hidup. Kekecewaan gue hanya satu. DIMANA PERNIKAHAN FEYRE + RHYSAND? Okelah, tidak masalah kalau tidak ada. Because we’re finally get the anticipated wall scene 🙂

Ada teaser pendek untuk serial ACOTAR selanjutnya. Gue tidak tahu apa itu novella atau full book. Yang pasti, ceritanya akan berfokus pada Nesta dan Cassian. Ugh I love my angsty romance.

“I wanted you, even Under the Mountain,” I said softly. “I chalked it up to those horrible circumstances, but after we killed her, when I couldn’t tell anyone how I felt—about how truly bad things were, I still told you. I’ve always been able to talk to you. I think my heart knew you were mine long before I ever realized it.”

Jadi novella ini tidak mempunyai plot yang penting karena intinya cuma mereka yang merayakan Solstice. Gue tidak ada masalah dengan cerita santai seperti ini. Gue tidak peduli jika Sarah J. Maas hanya merilis buku yang penuh dengan momen Feyre dan Rhysand. Because I still want more and more. Well, gue mesti menunggu lagi hingga tahun depan.

One thought on “Review Buku #107 – A Court of Frost and Starlight ‘A Court of Thorns and Roses 3.1’ by Sarah J. Maas (2018)

  1. Gua udah baca ulang buku 1-3 sehari semalem (ampe lupa mandi dan makan) dan rencananya mau beli buku ke 4, tapi ragu. Saking penasaran, iseng gua cari reviewnya. Dan ketemu review lo. Makasih ya udah review buku ini, sebab dengan gitu, gua putusin buat gak beli buku ke-4 hehe. Kenapa gua mutusin itu? Gua gak sanggup patah hati. Sumpah. Sedari awal, gua memahami sifat Tamlin. Gua tau di buku ke dua dia enggak termaafkan. Tapi, endingnya gua bisa memahami maksud dia melakukan segala hal di buku kedua. Gua suka Rhysand, tapi hati gua memahami perasaan Tamlin.

    Like

Leave a comment